Hidayah pada Secarik Kertas
KotaSantri.com : Iqra... Iqra... Iqra... Begitu bunyi suara yang membisiki telinga saya dalam mimpi. Bisikan misterius itu mengingatkan saya pada kisah Nabi saat mendapat wahyu pertama di Gua Hira. Saya tidak menganggap mimpi itu sekadar kembang tidur yang melenakan. Itulah awal saat saya menangkap cahaya Islam. Dan secarik kertas bertuliskan 'Islam Agama Hakiki', kian menguatkan tekad saya untuk memilih Islam sebagai panduan hidup.
Nama asli saya Christian Gustav, sedangkan nama hijrah saya adalah Muhammad Faaiz Hidayatullah. Saya lahir dan dibesarkan oleh orangtua dalam lingkungan keluarga Katolik yang taat dari SD hingga SMP, saya mengecap pendidikan di sekolah Katolik. Hanya di SMEA saja, saya sekolah umum yang sebagian besar siswa dan gurunya beragama Islam. Di situ, saya mulai mengenal Islam dari teman-teman maupun dari sebagian guru. Selain beiajar, kebetulan saya mengikuti kegiatan ekstra kurikuler, termasuk aktif di teater.
Sejak itu, saya mulai mencintai dunia puisi. Entah bagaimana, hati saya tertarik pada Islam. Saya sendiri tidak tahu, apakah ini yang disebut hidayah atau bukan. Yang pasti, ada sesuatu yang mendorong saya untuk mencoba menggali dan mengenai Islam lebih dekat lagi.
Waktu saya kelas II SMEA Tridaya, Jakarta Timur, pada suatu malam saya bermimpi pulang dari gereja, lalu masuk kamar. Di kamar, saya melihat sebuah. Al-Qur'an terletak di atas meja. Mulanya saya bertanya-tanya, ini kitab apa. Rasa ingin tahu mendorong saya membuka-buka isi kitab tersebut. Setelah saya lihat bacaannya, temyata berbeda dengan kitab suci yang biasa saya baca.
Anehnya lagi, dalam mimpi itu saya mendengar suara entah dari mana datangnya, seperti hendak menuntun saya untuk membacanya. "Sudah, baca saja." Meski saya katakan, "Saya tidak bisa baca." Suara misterius itu terus mendesak saya untuk membacanya. Setelah dituntun, akhirnya saya pun membacanya. Pokoknya, saya seperti qari atau orang yang sedang mengaji, yang melantunkan ayat-ayat suci dengan lagunya. Padahal, jujur, jangankan membaca, apalagi melantunkannya dengan lagu, mengenal huruf Arab saja, saya tidak mampu.
Begitu saya terbangun, saya tersadar bahwa itu hanya mimpi. Tapi mimpi yang bukan sembarang mimpi. Mimpi itu telah membuat sekujur tubuh saya berkeringat dingin, membuat hati saya cemas, tak nyaman, jadi pikiran, dan selalu bertanya-tanya dalam batin. Hingga akhirnya saya berdo'a dengan cara agama yang saya anut. Dalam hati saya berkata, kalau memang ini panggilan suci, saya siap mengikutinya.
Keesokan harinya, saya curhat habis pada guru agama di sekolah. Lucunya, guru yang pertama kali saya curhat adalah guru agama Islam, yaitu Pak Masduki, baru kemudian guru agama Katotik. Pak Masduki sendiri sebetulnya tahu, bahwa saya menganut agama Katolik. Kedua guru itu begitu tulus mendengar segala kisah mimpi saya yang mencemaskan dan mendebarkan tersebut. Tapi masing-masing guru agama itu memberikan penjelasan yang berbeda. Saya pun jadi makin bingung.
Suatu ketika, saat saya hendak keluar kelas untuk mengikuti pelajaran agama Katolik di kelas lain, saya merogoh laci meja tempat saya menaruh tas dengan maksud memeriksa apakah ada barang saya yang tertinggal. Tanpa sengaja, saya menemukan secarik kertas (seperti sobekan), bertuliskan Arab. Terjemahannya "hanya Islamlah agama yang diridhai Allah."
Saat itu, pikiran saya makin cemas campur kalut. Degup jantung saya terasa makin kencang. Saya bertanya-tanya dalam hati, gerangan apa di balik ini semua. Inikah skenario Tuhan untuk menuntun saya kepada sebuah jalan kebenaran? Sobekan kertas 'misterius' itu membuat saya panasaran untuk mencari tahu tentang Islam.
Siang itu, saya kembali menemui Pak Masduki, seraya menceritakan apa yang baru saya alami. Pak Masduki bilang, "Chris, mungkin itu sudah panggilan. Bisa jadi itu hidayah. Tapi, itu terserah kamu. Untuk masuk Islam itu tidak ada paksaan. Apakah kamu tetap bertahan atau melepaskan akidah Katolik kamu, semua tergantung kamu. Jadi kamu sendiri yang memutuskannya. "
Pada tanggal 20 November 1999, saat saya duduk di kelas III, tanpa ragu-ragu lagi saya resmi memeluk Islam. Pak Masduki sendiri yang membimbing saya mengucapkan kalimat syahadat, di masjid dekat sekolah. Teman-teman sekolah dan sebagian guru hadir menyaksikan saya menadi seorang Muslim.
Saat itu saya tak kuasa menahan haru. Terlebih saat Pak Masduki memeluk saya, disusul oleh teman-teman yang lain. Jujur, tak pernah saya merasakan suasana seindah dan sebahagia ini. Dalam pelukan Pak Masduki dan teman-teman sekolah, air mata saya meleleh membasahi pipi. Usai syahadat, perasaan saya betul-betul plong. Ada sebuah kekuatan baru mengisi relung-relung kehidupan saya.
Sebelum saya resmi memeluk Islam, mama lebih dulu sudah menjadi Muslimah, empat tahun sebelumnya (1996). Selama itu, mama tetap memberikan kebebasan kepada anak-anaknya untuk memeluk agama yang mereka yakini. Mama tidak ingin memaksakan anak-anaknya mengikuti langkahnya. Oleh karena itu hubungan antara mama dan anak-anaknya yang beragama Katolik tetap baik.
Sebelum mama masuk Islam, mama sudah bercerai. Saya bersama dua saudara ikut mama, sedangkan tiga saudara yang lain ikut papa. Sekalipun berpisah, papa tetap mengunjungi anak-anaknya yang diasuh oleh mama.
Saya tak menyangkal adanya peran sang mama yang membuat saya tertarik pada Islam. Ketertarikan saya pada Islam juga saya rasakan bila memperhatikan mama sedang shalat. Wajah mama terlihat bersih dan bersinar, seperti ada pancaran cahaya yang merasuk di sekujur tubuhnya.
Secara diam-diam, saya suka membuka-buka bacaan mama, tentang Islam. Ada beberapa buku Islam milik mama yang tersimpan di rak buku. Buku yang pertama kali dibaca saya adalah Iqra. Selain itu, saya juga membaca buku Ahmad Deedat berjudul Mengungkap tentang Bibel (Versi Islam dan Kristen). Mama sendiri tidak tahu bahwa saya sebenarnya sedang mempelajari Islam, walau dengan sembunyi-sembunyi.
Dari kebiasaan dan hobi membaca sejak kecil, saya terdorong melahap buku apa saja, termasuk mempelajari berbagai agama. Akhirnya, ia kian intensif mempelajari Islam lewat bacaan dan bertanya pada orang yang mengerti tentang Islam.
Yang membuat tekad saya semakin mantap untuk memeluk Islam adalah ketika saya membaca dan mengkaji Al-Qur'an Surat Al-Ikhlas. Saya merasa kandungan ayat-ayat ini lebih rasional.
Betapa berat ujian yang dihadapi saya dan mama dalam memilih jalan hidup ini. Semula kami hidup dengan ekonomi yang berkecukupan. Boleh dibilang berada, terlebih papa adalah seorang interior designer rumah tangga. Tapi sejak papa mengalami musibah kecelakaan (tahun 1992), keadaan ekonomi keluarga dirasakan sangat sulit.
Sejak mama bercerai dengan papa, boleh dibilang membuat saya dan adik-adik saya hidup prihatin. Dulu ekonomi papa kuat. Bahkan keluarga papa banyak yang kaya. Saat masih jaya-jayanya, semua kebutuhan bisa terbeli, bahkan saya sempat kuliah beberapa semester.
Sekarang, saya, mama dan dua adik saya ngontrak di daerah Bekasi. Sedangkan sehari-hari mama membuat kue dan menjualnya ke warung-warung terdekat. Demi tuntutan hidup, saya sendiri ikut membantu mama membuatkan kue.
Lingkungan tempat tinggal kami dikenal Islamnya kuat. Saat mama menjajakan kue keliling kampung, tak seorang pun yang menyentuh apalagi membeli kue buatan mama. Mereka enggan membeli karena mengira kue buatan mama bercampur barang haram. Maklum, kami keturunan Cina. Saya bisa memahami, mereka belum tahu bahwa kami sudah Muslim.
Untunglah ada seorang yang baik hati membantu kami. KH. Muhammad Saimin, yang dihormati masyarakat. Ia membeli seluruh kue jajaan mama, lalu bersama istrinya membagi-bagikannya kepada orang kampung, sambil memberi informasi bahwa kami sudah menjadi Muslim. "Kue ini halal," kata Pak Saimin. Setelah itu, warga mulai mau membeli kue-kue mama.
Saya tak bisa meneruskan kuliah lagi. Mau tak mau saya hanya mengandalkan ijazah SMEA (jurusan Akuntansi) untuk melamar kerja. Saya ingin sekali membantu mama dan adik-adik saya. Tapi, setiap kali saya melamar selalu ditolak karena fisik saya kurang sempurna. Saya merasakan diskriminasi dalam kehidupan saya.
Pernah saya menemui seseorang di bagian personalia suatu perusahaan. Saat dia melihat kondisi fisik saya, dia langsung berkata, "Maaf, fisik kamu begini, jadi nggak bisa diterima."
Kata-kata itu saya rasakan seperti petir di siang bolong. Saya tak bisa melupakan itu. Sampai kini, saya masih merasakan minder karena fisik yang tidak sempurna. Tapi saya yakin Allah akan memberi jalan keluar yang terbaik untuk saya. Insya Allah. [Amanah-60/XVIII]
Bilik @ KotaSantri.com
Assalamu Alaikum
Bahan seperti apa yang anda butuhkan ??. sebagai awalan anda bisa cek di : http://groups. google.co. id/group/ cinta_rasul/. Ada beberapa file yang mungkin bermanfaat bagi anda. Semoga bermanfaat. Mohon maaf bila ada kekurangan.
Wassalamu Alaikum
0 Response to "Hidayah pada Secarik Kertas"
Posting Komentar