TATA CARA SHOLAT NABI MUHAMMAD
TUGAS BBQ
TATA
CARA SHOLAT NABI MUHAMMAD
Di susun oleh:
Nama : Dwi Rohmawati
Npm : 155140033
PRODI KEPERAWATAN
STIKES UMITRA LAMPUNG
TA 2011/2012
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bila berdiri untuk sholat fardhu atau sholat sunnah, beliau menghadap Ka'bah.
Beliau memerintahkan berbuat demikian sebagaimana sabdanya kepada orang yang
sholatnya salah:
"Bila engkau berdiri untuk sholat, sempurnakanlah wudhu'mu, kemudian menghadaplah ke kiblat, lalu bertakbirlah." (HR. Bukhari, Muslim dan Siraj).
Tentang hal ini telah turun pula firman Allah dalam Surah Al Baqarah : 115: "Kemana saja kamu menghadapkan muka, disana ada wajah Allah."
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah sholat menghadap Baitul Maqdis, hal ini terjadi sebelum turunnya firman Allah: "Kami telah melihat kamu menengadahkan kepalamu ke langit. Kami palingkan kamu ke kiblat yang kamu inginkan. Oleh karena itu, hadapkanlah wajahmu ke sebagian arah Masjidil Haram." (QS. Al Baqarah : 144).
Setelah ayat ini turun beliau sholat menghadap Ka'bah.
Pada waktu sholat subuh kaum muslim yang tinggal di Quba' kedatangan seorang utusan Rasulullah untuk menyampaikan berita, ujarnya, "Sesungguhnya semalam Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah mendapat wahyu, beliau disuruh menghadap Ka'bah. Oleh karena itu, (hendaklah) kalian menghadap ke sana." Pada saat itu mereka tengah menghadap ke Syam (Baitul Maqdis). Mereka lalu berputar (imam mereka memutar haluan sehingga ia mengimami mereka menghadap kiblat). (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Siraj, Thabrani, dan Ibnu Sa'ad. Baca Kitab Al Irwa', hadits No. 290).
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengerjakan sholat
fardhu atau sunnah berdiri karena memenuhi perintah Allah dalam QS. Al Baqarah
: 238. Apabila bepergian, beliau melakukan sholat sunnah di atas kendaraannya.
Beliau mengajarkan kepada umatnya agar melakukan sholat khauf dengan berjalan
kaki atau berkendaraan.
"Peliharalah semua sholat dan sholat wustha dan berdirilah dengan tenang karena Allah. Jika kamu dalam ketakutan, sholatlah dengan berjalan kaki atau berkendaraan. Jika kamu dalam keadaa aman, ingatlah kepada Allah dengan cara yang telah diajarkan kepada kamu yang mana sebelumnya kamu tidak mengetahui (cara tersebut)." (QS. Al Baqarah : 238).
"Peliharalah semua sholat dan sholat wustha dan berdirilah dengan tenang karena Allah. Jika kamu dalam ketakutan, sholatlah dengan berjalan kaki atau berkendaraan. Jika kamu dalam keadaa aman, ingatlah kepada Allah dengan cara yang telah diajarkan kepada kamu yang mana sebelumnya kamu tidak mengetahui (cara tersebut)." (QS. Al Baqarah : 238).
Sutrah (pembatas yang berada di depan orang sholat) dalam sholat
menjadi keharusan imam dan orang yang sholat sendirian, sekalipun di masjid
besar, demikian pendapat Ibnu Hani' dalam Kitab Masa'il, dari Imam Ahmad.
Beliau mengatakan, "Pada suatu hari saya sholat tanpa memasang sutrah di depan saya, padahal saya melakukan sholat di dalam masjid kami, Imam Ahmad melihat kejadian ini, lalu berkata kepada saya, 'Pasanglah sesuatu sebagai sutrahmu!' Kemudian aku memasang orang untuk menjadi sutrah."
Syaikh Al Albani mengatakan, "Kejadian ini merupakan isyarat dari Imam Ahmad bahwa orang yang sholat di masjid besar atau masjid kecil tetap berkewajiban memasang sutrah di depannya."
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Janganlah kamu sholat tanpa menghadap sutrah dan janganlah engkau membiarkan seseorang lewat di hadapan kamu (tanpa engkau cegah). Jika dia terus memaksa lewat di depanmu, bunuhlah dia karena dia ditemani oleh setan." (HR. Ibnu Khuzaimah dengan sanad yang jayyid (baik)).
Beliau juga bersabda:
"Bila seseorang di antara kamu sholat menghadap sutrah, hendaklah dia mendekati sutrahnya sehingga setan tidak dapat memutus sholatnya." (HR. Abu Dawud, Al Bazzar dan Hakim. Disahkan oleh Hakim, disetujui olah Dzahabi dan Nawawi).
Dan hendaklah sutrah itu diletakkan tidak terlalu jauh dari tempat kita berdiri sholat sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.
"Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berdiri shalat dekat sutrah (pembatas) yang jarak antara beliau dengan pembatas di depannya 3 hasta." (HR. Bukhari dan Ahmad).
Adapun yang dapat dijadikan sutrah antara lain: tiang masjid, tombak yang ditancapkan ke tanah, hewan tunggangan, pelana, tiang setinggi pelana, pohon, tempat tidur, dinding dan lain-lain yang semisalnya, sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
Beliau mengatakan, "Pada suatu hari saya sholat tanpa memasang sutrah di depan saya, padahal saya melakukan sholat di dalam masjid kami, Imam Ahmad melihat kejadian ini, lalu berkata kepada saya, 'Pasanglah sesuatu sebagai sutrahmu!' Kemudian aku memasang orang untuk menjadi sutrah."
Syaikh Al Albani mengatakan, "Kejadian ini merupakan isyarat dari Imam Ahmad bahwa orang yang sholat di masjid besar atau masjid kecil tetap berkewajiban memasang sutrah di depannya."
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Janganlah kamu sholat tanpa menghadap sutrah dan janganlah engkau membiarkan seseorang lewat di hadapan kamu (tanpa engkau cegah). Jika dia terus memaksa lewat di depanmu, bunuhlah dia karena dia ditemani oleh setan." (HR. Ibnu Khuzaimah dengan sanad yang jayyid (baik)).
Beliau juga bersabda:
"Bila seseorang di antara kamu sholat menghadap sutrah, hendaklah dia mendekati sutrahnya sehingga setan tidak dapat memutus sholatnya." (HR. Abu Dawud, Al Bazzar dan Hakim. Disahkan oleh Hakim, disetujui olah Dzahabi dan Nawawi).
Dan hendaklah sutrah itu diletakkan tidak terlalu jauh dari tempat kita berdiri sholat sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.
"Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berdiri shalat dekat sutrah (pembatas) yang jarak antara beliau dengan pembatas di depannya 3 hasta." (HR. Bukhari dan Ahmad).
Adapun yang dapat dijadikan sutrah antara lain: tiang masjid, tombak yang ditancapkan ke tanah, hewan tunggangan, pelana, tiang setinggi pelana, pohon, tempat tidur, dinding dan lain-lain yang semisalnya, sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
Niat berarti menyengaja untuk sholat, menghambakan diri kepada
Allah Ta'ala semata, serta menguatkannya dalam hati.
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Semua amal tergantung pada niatnya dan setiap orang akan mendapat (balasan) sesuai dengan niatnya." (HR. Bukhari, Muslim dan lain-lain. Baca Al Irwa', hadits no. 22).
Niat tidak dilafadzkan
Dan tidaklah disebutkan dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan tidak pula dari salah seorang sahabatnya bahwa niat itu dilafadzkan.
Abu Dawud bertanya kepada Imam Ahmad. Dia berkata, "Apakah orang sholat mengatakan sesuatu sebelum dia takbir?" Imam Ahmad menjawab, "Tidak." (Masaail al Imam Ahmad hal 31 dan Majmuu' al Fataawaa XXII/28).
AsSuyuthi berkata, "Yang termasuk perbuatan bid'ah adalah was-was (selalu ragu) sewaktu berniat sholat. Hal itu tidak pernah diperbuat oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam maupun para shahabat beliau. Mereka dulu tidak pernah melafadzkan niat sholat sedikitpun selain hanya lafadz takbir."
Asy Syafi'i berkata, "Was-was dalam niat sholat dan dalam thaharah termasuk kebodohan terhadap syariat atau membingungkan akal." (Lihat al Amr bi al Itbaa' wa al Nahy 'an al Ibtidaa').
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Semua amal tergantung pada niatnya dan setiap orang akan mendapat (balasan) sesuai dengan niatnya." (HR. Bukhari, Muslim dan lain-lain. Baca Al Irwa', hadits no. 22).
Niat tidak dilafadzkan
Dan tidaklah disebutkan dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan tidak pula dari salah seorang sahabatnya bahwa niat itu dilafadzkan.
Abu Dawud bertanya kepada Imam Ahmad. Dia berkata, "Apakah orang sholat mengatakan sesuatu sebelum dia takbir?" Imam Ahmad menjawab, "Tidak." (Masaail al Imam Ahmad hal 31 dan Majmuu' al Fataawaa XXII/28).
AsSuyuthi berkata, "Yang termasuk perbuatan bid'ah adalah was-was (selalu ragu) sewaktu berniat sholat. Hal itu tidak pernah diperbuat oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam maupun para shahabat beliau. Mereka dulu tidak pernah melafadzkan niat sholat sedikitpun selain hanya lafadz takbir."
Asy Syafi'i berkata, "Was-was dalam niat sholat dan dalam thaharah termasuk kebodohan terhadap syariat atau membingungkan akal." (Lihat al Amr bi al Itbaa' wa al Nahy 'an al Ibtidaa').
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam selalu memulai sholatnya
(dilakukan hanya sekali ketika hendak memulai suatu sholat) dengan takbiratul
ihrom yakni mengucapkan Allahu Akbar di awal sholat dan beliau pun pernah
memerintahkan seperti itu kepada orang yang sholatnya salah. Beliau bersabda
kepada orang itu:
"Sesungguhnya sholat seseorang tidak sempurna sebelum dia berwudhu' dan melakukan wudhu' sesuai ketentuannya, kemudian ia mengucapkan Allahu Akbar." (Hadits diriwayatkan oleh Al Imam Thabrani dengan sanad shahih).
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Apabila engkau hendak mengerjakan sholat, maka sempurnakanlah wudhu'mu terlebih dahulu kemudian menghadaplah ke arah kiblat, lalu ucapkanlah takbiratul ihrom." (Muttafaqun 'alaihi).
Takbirotul ihrom diucapkan dengan lisan
Takbirotul ihrom tersebut harus diucapkan dengan lisan (bukan diucapkan di dalam hati).
Muhammad Ibnu Rusyd berkata, "Adapun seseorang yang membaca dalam hati, tanpa menggerakkan lidahnya, maka hal itu tidak disebut dengan membaca. Karena yang disebut dengan membaca adalah dengan melafadzkannya di mulut."
An Nawawi berkata, "…adapun selain imam, maka disunnahkan baginya untuk tidak mengeraskan suara ketika membaca lafadz takbir, baik apakah dia sedang menjadi makmum atau ketika sholat sendiri. Tidak mengeraskan suara ini jika dia tidak menjumpai rintangan, seperti suara yang sangat gaduh. Batas minimal suara yang pelan adalah bisa didengar oleh dirinya sendiri jika pendengarannya normal. Ini berlaku secara umum baik ketika membaca ayat-ayat al Quran, takbir, membaca tasbih ketika ruku', tasyahud, salam dan doa-doa dalam sholat baik yang hukumnya wajib maupun sunnah…" beliau melanjutkan, "Demikianlah nash yang dikemukakan Syafi'i dan disepakati oleh para pengikutnya. Asy Syafi'i berkata dalam al Umm, 'Hendaklah suaranya bisa didengar sendiri dan orang yang berada disampingnya. Tidak patut dia menambah volume suara lebih dari ukuran itu.'." (al Majmuu' III/295).
"Sesungguhnya sholat seseorang tidak sempurna sebelum dia berwudhu' dan melakukan wudhu' sesuai ketentuannya, kemudian ia mengucapkan Allahu Akbar." (Hadits diriwayatkan oleh Al Imam Thabrani dengan sanad shahih).
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Apabila engkau hendak mengerjakan sholat, maka sempurnakanlah wudhu'mu terlebih dahulu kemudian menghadaplah ke arah kiblat, lalu ucapkanlah takbiratul ihrom." (Muttafaqun 'alaihi).
Takbirotul ihrom diucapkan dengan lisan
Takbirotul ihrom tersebut harus diucapkan dengan lisan (bukan diucapkan di dalam hati).
Muhammad Ibnu Rusyd berkata, "Adapun seseorang yang membaca dalam hati, tanpa menggerakkan lidahnya, maka hal itu tidak disebut dengan membaca. Karena yang disebut dengan membaca adalah dengan melafadzkannya di mulut."
An Nawawi berkata, "…adapun selain imam, maka disunnahkan baginya untuk tidak mengeraskan suara ketika membaca lafadz takbir, baik apakah dia sedang menjadi makmum atau ketika sholat sendiri. Tidak mengeraskan suara ini jika dia tidak menjumpai rintangan, seperti suara yang sangat gaduh. Batas minimal suara yang pelan adalah bisa didengar oleh dirinya sendiri jika pendengarannya normal. Ini berlaku secara umum baik ketika membaca ayat-ayat al Quran, takbir, membaca tasbih ketika ruku', tasyahud, salam dan doa-doa dalam sholat baik yang hukumnya wajib maupun sunnah…" beliau melanjutkan, "Demikianlah nash yang dikemukakan Syafi'i dan disepakati oleh para pengikutnya. Asy Syafi'i berkata dalam al Umm, 'Hendaklah suaranya bisa didengar sendiri dan orang yang berada disampingnya. Tidak patut dia menambah volume suara lebih dari ukuran itu.'." (al Majmuu' III/295).
Disunnahkan mengangkat kedua tangannya setentang bahu
ketika bertakbir dengan merapatkan jari-jemari tangannya, berdasarkan hadits
yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar radiyallahu anhuma, ia berkata:
"Rasulullah shallallahu alaihi wasallam biasa mengangkat kedua tangannya
setentang bahu jika hendak memulai sholat, setiap kali bertakbir untuk ruku'
dan setiap kali bangkit dari ruku'nya." (Muttafaqun 'alaihi).
Atau mengangkat kedua tangannya setentang telinga, berdasarkan hadits riwayat Malik bin Al-Huwairits radhiyyallahu anhu, ia berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam biasa mengangkat kedua tangannya setentang telinga setiap kali bertakbir (didalam sholat)." (HR. Muslim).
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, Tamam dan Hakim disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengangkat kedua tangannya dengan membuka jari-jarinya lurus ke atas (tidak merenggangkannya dan tidak pula menggengamnya). (Shifat Sholat Nabi).
Atau mengangkat kedua tangannya setentang telinga, berdasarkan hadits riwayat Malik bin Al-Huwairits radhiyyallahu anhu, ia berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam biasa mengangkat kedua tangannya setentang telinga setiap kali bertakbir (didalam sholat)." (HR. Muslim).
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, Tamam dan Hakim disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengangkat kedua tangannya dengan membuka jari-jarinya lurus ke atas (tidak merenggangkannya dan tidak pula menggengamnya). (Shifat Sholat Nabi).
Kemudian
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam meletakkan tangan kanan di atas tangan
kirinya (bersedekap). Beliau bersabda:
"Kami, para nabi diperintahkan untuk segera berbuka dan mengakhirkan sahur serta meletakkan tangan kanan pada tangan kiri (bersedekap) ketika melakukan sholat." (Hadits diriwayatkan oleh Al Imam Ibnu Hibban dan Adh Dhiya' dengan sanad shahih).
Dalam sebuah riwayat pernah beliau melewati seorang yang sedang sholat, tetapi orang ini meletakkan tangan kirinya pada tangan kanannya, lalu beliau melepaskannya, kemudian orang itu meletakkan tangan kanannya pada tangan kirinya. (Hadits riwayat Ahmad dan Abu Dawud dengan sanad yang shahih).
Meletakkan atau menggenggam
Beliau shallallahu 'alaihi wasallam meletakkan lengan kanan pada punggung telapak kirinya, pergelangan dan lengan kirinya berdasar hadits dari Wail bin Hujur:
"Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertakbir kemudian meletakkan tangan kanannya di atas telapak tangan kiri, pergelangan tangan kiri atau lengan kirinya." (Hadits diriwayatkan oleh Al Imam Abu Dawud, Nasa'i, Ibnu Khuzaimah, dengan sanad yang shahih dan dishahihkan pula oleh Ibnu Hibban, hadits no. 485).
Beliau terkadang juga menggenggam pergelangan tangan kirinya dengan tangan kanannya, berdasarkan hadits Nasa'i dan Daraquthni:
"Tetapi beliau terkadang menggenggamkan jari-jari tangan kanannya pada lengan kirinya." (sanad shahih).
Bersedekap di dada
Menyedekapkan tangan di dada adalah perbuatan yang benar menurut sunnah berdasarkan hadits: "Beliau meletakkan kedua tangannya di atas dadanya." (Hadits diriwayatkan oleh Al Imam Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, Ahmad dari Wail bin Hujur).
Cara-cara yang sesuai sunnah ini dilakukan oleh Imam Ishaq bin Rahawaih. Imam Mawarzi dalam Kitab Masa'il, halaman 222 berkata: "Imam Ishaq meriwayatkan hadits secara mutawatir kepada kami…. Beliau mengangkat kedua tangannya ketika berdo'a qunut dan melakukan qunut sebeluim ruku'. Beliau menyedekapkan tangannya berdekatan dengan teteknya." Pendapat yang semacam ini juga dikemukakan oleh Qadhi 'Iyadh al Maliki dalam bab Mustahabatu ash Sholat pada Kitab Al I'lam, beliau berkata: "Dia meletakkan tangan kanan pada punggung tangan kiri di dada."
"Kami, para nabi diperintahkan untuk segera berbuka dan mengakhirkan sahur serta meletakkan tangan kanan pada tangan kiri (bersedekap) ketika melakukan sholat." (Hadits diriwayatkan oleh Al Imam Ibnu Hibban dan Adh Dhiya' dengan sanad shahih).
Dalam sebuah riwayat pernah beliau melewati seorang yang sedang sholat, tetapi orang ini meletakkan tangan kirinya pada tangan kanannya, lalu beliau melepaskannya, kemudian orang itu meletakkan tangan kanannya pada tangan kirinya. (Hadits riwayat Ahmad dan Abu Dawud dengan sanad yang shahih).
Meletakkan atau menggenggam
Beliau shallallahu 'alaihi wasallam meletakkan lengan kanan pada punggung telapak kirinya, pergelangan dan lengan kirinya berdasar hadits dari Wail bin Hujur:
"Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertakbir kemudian meletakkan tangan kanannya di atas telapak tangan kiri, pergelangan tangan kiri atau lengan kirinya." (Hadits diriwayatkan oleh Al Imam Abu Dawud, Nasa'i, Ibnu Khuzaimah, dengan sanad yang shahih dan dishahihkan pula oleh Ibnu Hibban, hadits no. 485).
Beliau terkadang juga menggenggam pergelangan tangan kirinya dengan tangan kanannya, berdasarkan hadits Nasa'i dan Daraquthni:
"Tetapi beliau terkadang menggenggamkan jari-jari tangan kanannya pada lengan kirinya." (sanad shahih).
Bersedekap di dada
Menyedekapkan tangan di dada adalah perbuatan yang benar menurut sunnah berdasarkan hadits: "Beliau meletakkan kedua tangannya di atas dadanya." (Hadits diriwayatkan oleh Al Imam Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, Ahmad dari Wail bin Hujur).
Cara-cara yang sesuai sunnah ini dilakukan oleh Imam Ishaq bin Rahawaih. Imam Mawarzi dalam Kitab Masa'il, halaman 222 berkata: "Imam Ishaq meriwayatkan hadits secara mutawatir kepada kami…. Beliau mengangkat kedua tangannya ketika berdo'a qunut dan melakukan qunut sebeluim ruku'. Beliau menyedekapkan tangannya berdekatan dengan teteknya." Pendapat yang semacam ini juga dikemukakan oleh Qadhi 'Iyadh al Maliki dalam bab Mustahabatu ash Sholat pada Kitab Al I'lam, beliau berkata: "Dia meletakkan tangan kanan pada punggung tangan kiri di dada."
Pada
saat mengerjakan sholat, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menundukkan
kepalanya dan mengarahkan pandangannya ke tempat sujud. Hal ini didasarkan pada
hadits yang diriwayatkan oleh Ummul Mukminin 'Aisyah radhiyallahu 'anha:
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidak mengalihkan pandangannya
dari tempat sujud (di dalam sholat)." (HR. Baihaqi dan dishahihkan oleh
Syaikh Al Albani).
Larangan menengadah ke langit
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang keras menengadah ke langit (ketika sholat). Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Hendaklah sekelompok orang benar-benar menghentikan pandangan matanya yang terangkat ke langit ketika berdoa dalam sholat atau hendaklah mereka benar-benar menjaga pandangan mata mereka." (HR. Muslim, Nasa'i dan Ahmad).
Rasulullah juga melarang seseorang menoleh ke kanan atau ke kiri ketika sholat, beliau bersabda: "Jika kalian sholat, janganlah menoleh ke kanan atau ke kiri karena Allah akan senantiasa menghadapkan wajah-Nya kepada hamba yang sedang sholat selama ia tidak menoleh ke kanan atau ke kiri." (HR. Tirmidzi dan Hakim).
Dalam Zaadul Ma'aad (I/248) disebutkan bahwa makruh hukumnya orang yang sedang sholat menolehkan kepalanya tanpa ada keperluan. Ibnu Abdil Bar berkata, "Jumhur ulama mengatakan bawa menoleh yang ringan tidak menyebabkan shalat menjadi rusak."
Juga dimakruhkan shalat dihadapan sesuatu yang bisa merusak konsentrasi atau di tempat yang ada gambar-gambarnya, diatas sajadah yang ada lukisan atau ukiran, dihadapan dinding yang bergambar dan sebagainya.
Larangan menengadah ke langit
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang keras menengadah ke langit (ketika sholat). Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Hendaklah sekelompok orang benar-benar menghentikan pandangan matanya yang terangkat ke langit ketika berdoa dalam sholat atau hendaklah mereka benar-benar menjaga pandangan mata mereka." (HR. Muslim, Nasa'i dan Ahmad).
Rasulullah juga melarang seseorang menoleh ke kanan atau ke kiri ketika sholat, beliau bersabda: "Jika kalian sholat, janganlah menoleh ke kanan atau ke kiri karena Allah akan senantiasa menghadapkan wajah-Nya kepada hamba yang sedang sholat selama ia tidak menoleh ke kanan atau ke kiri." (HR. Tirmidzi dan Hakim).
Dalam Zaadul Ma'aad (I/248) disebutkan bahwa makruh hukumnya orang yang sedang sholat menolehkan kepalanya tanpa ada keperluan. Ibnu Abdil Bar berkata, "Jumhur ulama mengatakan bawa menoleh yang ringan tidak menyebabkan shalat menjadi rusak."
Juga dimakruhkan shalat dihadapan sesuatu yang bisa merusak konsentrasi atau di tempat yang ada gambar-gambarnya, diatas sajadah yang ada lukisan atau ukiran, dihadapan dinding yang bergambar dan sebagainya.
Doa istiftah yang dibaca oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
bermacam-macam. Dalam doa istiftah tersebut beliau shallallahu 'alaihi wasallam
mengucapkan pujian, sanjungan dan kalimat keagungan untuk Allah.
Beliau pernah memerintahkan hal ini kepada orang yang salah
melakukan sholatnya dengan sabdanya:"Tidak sempurna sholat seseorang
sebelum ia bertakbir, mengucapkan pujian, mengucapkan kalimat keagungan (doa
istiftah), dan membaca ayat-ayat al Quran yang dihafalnya…" (HR. Abu Dawud
dan Hakim, disahkan oleh Hakim, disetujui oleh Dzahabi).
Adapun bacaan doa istiftah yang diajarkan oleh Nabi shallallahu
'alaihi wasallam diantaranya adalah:
اَللَّهُمَّ بَاعِدْ
بَيْنِيْ وَبَيْنَ خَطَايَايَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ،
اَللَّهُمَّ نَقِّنِيْ مِنْ خَطَايَايَ، كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ اْلأَبْيَضُ
مِنَ الدَّنَسِ، اَللَّهُمَّ اغْسِلْنِيْ مِنْ خَطَايَايَ بِالثَّلْجِ وَالْمَاءِ
وَالْبَرَدِ.
“Ya Allah, jauhkan antara aku dan
kesalahan-kesalahanku, sebagaimana Engkau menjauhkan antara timur dan barat. Ya
Allah, bersihkanlah aku dan kesalahan- kesalahanku, sebagaimana baju putih
dibersihkan dari kotoran. Ya Allah, cucilah aku dari kesalahan-kesalahanku
dengan salju, air dan air es”. [HR. Al-Bukhari 1/181 dan Muslim 1/419.]
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ
وَبِحَمْدِكَ، وَتَبَارَكَ اسْمُكَ، وَتَعَالَى جَدُّكَ، وَلاَ إِلَـهَ غَيْرُكَ.
Maha Suci Engkau ya Allah, aku memujiMu, Maha
Berkah akan nama-Mu, Maha Tinggi kekayaan dan kebesaranMu, tiada Ilah yang
berhak disembah selain Engkau. [HR. Empat penyusun kitab Sunan, dan lihat
Shahih At-Tirmidzi 1/77 dan Shahih Ibnu Majah 1/135.]
وَجَّهْتُ وَجْهِيَ
لِلَّذِيْ فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ حَنِيْفًا وَمَا أَنَا مِنَ
الْمُشْرِكِيْنَ، إِنَّ صَلاَتِيْ، وَنُسُكِيْ، وَمَحْيَايَ، وَمَمَاتِيْ لِلَّهِ
رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا مِنَ
الْمُسْلِمِيْنَ. اَللَّهُمَّ أَنْتَ الْمَلِكَ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ. أَنْتَ
رَبِّيْ وَأَنَا عَبْدُكَ، ظَلَمْتُ نَفْسِيْ وَاعْتَرَفْتُ بِذَنْبِيْ
فَاغْفِرْلِيْ ذُنُوْبِيْ جَمِيْعًا إِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ
أَنْتَ. وَاهْدِنِيْ لأَحْسَنِ اْلأَخْلاَقِ لاَ يَهْدِيْ لأَحْسَنِهَا إِلاَّ
أَنْتَ، وَاصْرِفْ عَنِّيْ سَيِّئَهَا، لاَ يَصْرِفُ عَنِّيْ سَيِّئَهَا إِلاَّ
أَنْتَ، لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ، وَالْخَيْرُ كُلُّهُ بِيَدَيْكَ، وَالشَّرُّ
لَيْسَ إِلَيْكَ، أَنَا بِكَ وَإِلَيْكَ، تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ،
أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ.
“Aku menghadap kepada Tuhan Pencipta langit
dan bumi, dengan memegang agama yang lurus dan aku tidak tergolong orang-orang
yang musyrik. Sesungguhnya shalat, ibadah dan hidup serta matiku adalah untuk
Allah. Tuhan seru sekalian alam, tiada sekutu bagiNya, dan karena itu, aku
diperintah dan aku termasuk orang-orang muslim.
Ya Allah, Engkau adalah Raja, tiada Tuhan
(yang berhak disembah) kecuali Engkau, engkau Tuhanku dan aku adalah hambaMu.
Aku menganiaya diriku, aku mengakui dosaku (yang telah kulakukan). Oleh karena
itu ampunilah seluruh dosaku, sesungguhnya tidak akan ada yang mengampuni
dosa-dosa, kecuali Engkau. Tunjukkan aku pada akhlak yang terbaik, tidak akan
menunjukkan kepadanya kecuali Engkau. Hindarkan aku dari akhlak yang jahat,
tidak akan ada yang bisa menjauhkan aku daripadanya, kecuali Engkau. Aku penuhi
panggilanMu dengan kegembiraan, seluruh kebaikan di kedua tanganMu, kejelekan
tidak dinisbahkan kepadaMu. Aku hidup dengan pertolongan dan rahmatMu, dan
kepadaMu (aku kembali). Maha Suci Engkau dan Maha Tinggi. Aku minta ampun dan
bertaubat kepadaMu”. [HR. Muslim 1/534]
اَللَّهُمَّ رَبَّ
جِبْرَائِيْلَ، وَمِيْكَائِيْلَ، وَإِسْرَافِيْلَ فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ
وَاْلأَرْضِ، عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ، أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ
فِيْمَا كَانُوْا فِيْهِ يَخْتَلِفُوْنَ. اِهْدِنِيْ لِمَا اخْتُلِفَ فِيْهِ مِنَ
الْحَقِّ بِإِذْنِكَ تَهْدِيْ مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ.
“Ya Allah, Tuhan Jibrail, Mikail dan Israfil.
Wahai Pencipta langit dan bumi. Wahai Tuhan yang mengetahui yang ghaib dan
nyata. Engkau yang menjatuhkan hukum (untuk memutuskan) apa yang mereka
(orang-orang kristen dan yahudi) pertentangkan. Tunjukkanlah aku pada kebenaran
apa yang dipertentangkan dengan seizin dariMu. Sesungguhnya Engkau menunjukkan
pada jalan yang lurus bagi orang yang Engkau kehendaki”. [HR. Muslim 1/534.]
اَللهُ أَكْبَرُ
كَبِيْرًا، اَللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا، اَللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا، وَالْحَمْدُ
لِلَّهِ كَثِيْرًا، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيْرًا، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ
كَثِيْرًا، وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً)) ثلاثا ((أَعُوْذُ
بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ، مِنْ نَفْخِهِ وَنَفْثِهِ وَهَمْزِهِ
“Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah
Maha Besar. Segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak, segala puji bagi
Allah dengan pujian yang banyak, segala puji bagi Allah dengan pujian yang
banyak. Maha Suci Allah di waktu pagi dan sore”. (Diucapkan tiga kali). “Aku
berlindung kepada Allah dari tiupan, bisikan dan godaan setan”. [HR. Abu Dawud
1/203, Ibnu Majah 1/265 dan Ahmad 4/85. Muslim juga meriwayatkan hadits senada
dari Ibnu Umar, dan di dalamnya terdapat kisah 1/420
اَللَّهُمَّ لَكَ
الْحَمْدُ أَنْتَ نُوْرُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَمَنْ فِيْهِنَّ، لَكَ
الْحَمْدُ أَنْتَ قَيِّمُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَمَنْ فِيْهِنَّ، [وَلَكَ
الْحَمْدُ أَنْتَ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَمَنْ فِيْهِنَّ][وَلَكَ
الْحَمْدُ لَكَ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَمَنْ فِيْهِنَّ][وَلَكَ
الْحَمْدُ أَنْتَ مَلِكُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ][ وَلَكَ الْحَمْدُ][أَنْتَ
الْحَقُّ، وَوَعْدُكَ الْحَقُّ، وَقَوْلُكَ الْحَقُّ، وَلِقَاؤُكَ الْحَقُّ،
وَالْجَنَّهُ حَقُّ، وَالنَّارُ حَقُّ، وَالنَّبِيُّوْنَ حَقُّ، وَمُحَمَّدٌ
حَقُّ، وَالسَّاعَةُ حَقُّ][اَللَّهُمَّ لَكَ أَسْلَمْتُ، وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ،
وَبِكَ آمَنْتُ، وَإِلَيْكَ أَنَبْتُ، وَبِكَ خَاصَمْتُ، وَإِلَيْكَ حَاكَمْتُ.
فَاغْفِرْ لِيْ مَا قَدَّمْتُ وَمَا أَخَّرْتُ، وَمَا أَسْرَرْتُ وَمَا
أَعْلَنْتُ][أَنْتَ الْمُقَدِّمُ وَأَنْتَ الْمُؤَخِّرُ، لاَ إِلَـهَ إِلاَّ
أَنْتَ][أَنْتَ إِلَـهِيْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ].
“Apabila Nabi Shallallahu’alaihi wasallam shalat Tahajud di
waktu malam, beliau membaca: “Ya, Allah! BagiMu segala puji, Engkau cahaya
langit dan bumi serta seisinya. BagiMu segala puji, Engkau yang mengurusi
langit dan bumi serta seisinya. BagiMu segala puji, Engkau Tuhan yang menguasai
langit dan bumi serta seisinya. BagiMu segala puji dan bagi-Mu kerajaan langit
dan bumi serta seisi-nya. BagiMu segala puji, Engkau benar, janjiMu benar,
firmanMu benar, bertemu denganMu benar, Surga adalah benar (ada), Neraka adalah
benar (ada), (terutusnya) para nabi adalah benar, (terutusnya) Muhammad adalah
benar (dariMu), kejadian hari Kiamat adalah benar. Ya Allah, kepadaMu aku
menyerah, kepadaMu aku bertawakal, kepadaMu aku beriman, kepadaMu aku kembali
(bertaubat), dengan pertolonganMu aku berdebat (kepada orang-orang kafir),
kepadaMu (dan dengan ajaran-Mu) aku menjatuhkan hukum. Oleh karena itu,
ampunilah dosaku yang telah lewat dan yang akan datang. Engkaulah yang
mendahulukan dan mengakhirkan, tiada Tuhan yang hak disembah kecuali Engkau,
Engkau adalah Tuhanku, tidak ada Tuhan yang hak disembah kecuali Engkau”. [HR.
Al-Bukhari dalam Fathul Bari 3/3, 11/116, 13/371, 423, 465 dan Muslim
meriwayatkannya dengan ringkas 1/532]
Membaca doa ta'awwudz adalah disunnahkan dalam setiap raka'at,
sebagaimana firman Allah ta'ala: "Apabila kamu membaca Al Quran hendaklah
kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk." (An
Nahl : 98).
Dan pendapat ini adalah yang paling shahih dalam madzhab Syafi'i
dan diperkuat oleh Ibnu Hazm (Lihat al Majmuu' III/323 dan Tamaam al Minnah 172-177).
Nabi biasa membaca ta'awwudz yang berbunyi:
أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ
الرَّجِيْمِ،
"Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk"
Atau
mengucapkan:
"A'UUDZUBILLAHI MINASY SYAITHAANIR RAJIIM MIN HAMAZIHI WA
NAFKHIHI WANAFTSIHI"
artinya:"Aku berlindung kepada Allah dari setan yang
terkutuk, dari semburannya (yang menyebabkan gila), dari kesombongannya, dan
dari hembusannya (yang menyebabkan kerusakan akhlaq)." (Hadits
diriwayatkan oleh Al Imam Abu Dawud, Ibnu Majah, Daraquthni, Hakim dan
dishahkan olehnya serta oleh Ibnu Hibban dan Dzahabi).
Atau mengucapkan:
"A'UUZUBILLAHIS SAMII'IL ALIIM MINASY SYAITHAANIR
RAJIIM..."
artinya:
"Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui dari setan yang terkutuk..." (Hadits diriwayatkan oleh Al Imam
Abu Dawud dan Tirmidzi dengan sanad hasan).
Hukum Membaca Al Fatihah
Membaca Al Fatihah merupakan salah satu dari sekian banyak rukun
sholat, jadi kalau dalam sholat tidak membaca Al-Fatihah maka tidak sah sholatnya
berdasarkan perkataan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, "Tidak dianggap
sholat (tidak sah sholatnya) bagi yang tidak membaca Al Fatihah" (Hadits
Shahih dikeluarkan oleh Al- Jama'ah: yakni Al Imam Al Bukhari, Muslim, Abu
Dawud, At Tirmidzi, An Nasai dan Ibnu Majah).
"Barangsiapa yang sholat tanpa membaca Al Fatihah maka
sholatnya buntung, sholatnya buntung, sholatnya buntung…tidak sempurna"
(Hadits Shahih dikeluarkan oleh Al Imam Muslim dan Abu 'Awwanah).
Kapan Kita Wajib Membaca
Surat Al-Fatihah
Jelas bagi kita kalau sedang sholat sendirian (unfarid) maka
wajib untuk membaca Al Fatihah, begitu pun pada sholat jama'ah ketika imam
membacanya secara sirr (tidak diperdengarkan) yakni pada sholat Dhuhur, 'Ashr,
satu roka'at terakhir sholat Mahgrib dan dua roka'at terakhir sholat 'Isyak,
maka para makmum wajib membaca surat Al-Fatihah tersebut secara sendiri-sendiri
secara sirr (tidak dikeraskan).
Lantas bagaimana kalau imam membaca secara keras…? spt sholat
maghrib, isya, subuh.
Tentang ini Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa pernah Rasulullah
melarang makmum membaca surat dibelakang imam kecuali surat Al Fatihah,
"Betulkah kalian tadi membaca (surat) dibelakang imam kalian?" Kami
menjawab: "Ya, tapi dengan cepat wahai Rasulallah." Berkata Rasul:
"Kalian tidak boleh melakukannya lagi kecuali membaca Al-Fatihah, karena
tidak ada sholat bagi yang tidak membacanya." (Hadits dikeluarkan
oleh Al Imam Al Bukhori, Abu Dawud, dan Ahmad, dihasankan oleh At Tirmidzi dan
Ad Daraquthni)
Selanjutnya beliau shallallahu 'alaihi wa sallam melarang makmum
membaca surat apapun ketika imam membacanya dengan jahr (diperdengarkan) baik
itu Al Fatihah maupun surat lainnya. Hal ini selaras dengan keterangan dari Al
Imam Malik dan Ahmad bin Hanbal tentang wajibnya makmum diam bila imam membaca
dengan jahr/keras. Berdasar arahan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, Dari Abu
Hurairah, ia berkata: Telah berkata Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
:"Dijadikan imam itu hanya untuk diikuti. Oleh karena itu apabila imam takbir,
maka bertakbirlah kalian, dan apabila imam membaca, maka hendaklah kalian diam
(sambil memperhatikan bacaan imam itu)…" (Hadits Shahih dikeluarkan oleh
Imam Ahmad, Abu Dawud no. 603 & 604. Ibnu Majah no. 846, An Nasai. Imam
Muslim berkata: Hadits ini menurut pandanganku Shahih).
"Barangsiapa sholat mengikuti imam (bermakmum), maka bacaan
imam telah menjadi bacaannya juga." (Hadits dikeluarkan oleh Imam
Ibnu Abi Syaibah, Ad Daraquthni, Ibnu Majah, Thahawi dan Ahmad lihat kitab
Irwaul Ghalil oleh Syaikh Al- Albani).
Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam sesudah mendirikan sholat yang beliau keraskan bacaanya dalam sholat
itu, beliau bertanya: "Apakah ada seseorang diantara kamu yang membaca
bersamaku tadi?" Maka seorang laki-laki menjawab, "Ya ada, wahai
Rasulullah." Kemudian beliau berkata, "Sungguh aku katakan:
Mengapakah (bacaan)ku ditentang dengan Al Quran (juga)." Berkata Abu
Hurairah, kemudian berhentilah orang-orang dari membaca bersama Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam pada sholat-sholat yang Rasulullah keraskan
bacaannya, ketika mereka sudah mendengar (larangan) yang demikian itu dari Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam. (Hadits dikeluarkan oleh Abu Dawud, At
Tirmidzi, An Nasai dan Malik. Abu Hatim Ar Razi menshahihkannya, Imam Tirmidzi
mengatakan hadits ini hasan).
Hadits-hadits tersebut merupakan dalil yang tegas dan kuat
tentang wajib diamnya makmum apabila mendengar bacaan imam, baik Al Fatihahnya
maupun surat yang lain. Selain itu juga berdasarkan firman Allah Ta'ala,
"Dan apabila dibacakan Al Quran hendaklah kamu dengarkan ia dan diamlah
sambil memperhatikan (bacaannya), agar kamu diberi rahmat." (Al-A'raaf :
204).
Ayat ini asalnya berbentuk umum yakni dimana saja kita mendengar
bacaan Al Quran, baik di dalam sholat maupun di luar sholat wajib diam
mendengarkannya walaupun sebab turunnya berkenaan tentang sholat. Tetapi
keumuman ayat ini telah menjadi khusus dan tertentu (wajibnya) hanya untuk
sholat, sebagaimana telah diterangkan oleh Ibnu Abbas, Mujahid, Sa'id bin
Jubair, Adh Dhohak, Qotadah, Ibarahim An Nakhai, Abdurrahman bin Zaid bin Aslam
dan lain-lain. Lihat Tafsir Ibnu Katsir II/280-281.
Cara Membaca Al Fatihah
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam membaca surat Al-Fatihah pada
setiap roka'at. Membacanya dengan berhenti pada setiap akhir ayat (waqof),
tidak menyambung satu ayat dengan ayat berikutnya (washol) berdasarkan hadits
riwayat Abu Dawud, Sahmi dan 'Amr Ad Dani, dishahihkan oleh Hakim, disetujui
Adz Dzahabi.
Jadi bunyinya:
BISMILLAHIRRRAHMANNIRRAHIM
kemudian berhenti,
ALHAMDULILLAHIRABBIL'ALAMIN
kemudian berhenti,
ARRAHMANIRRAHIM
Begitulah seterusnya sampai selesai ayat yang terakhir.
Terkadang beliau membaca: ( MAALIKI YAUMIDDIIN ) Atau
dengan memendekkan bacaan 'maa' menjadi: ( MALIKI YAUMIDDIIN ),
Berdasarkan riwayat yang mutawatir dikeluarkan oleh Tamam Ar Razi, Ibnu Abi
Dawud, Abu Nu'aim, dan Al Hakim. Hakim menshahihkannya, dan disetujui oleh
Adz-Dzahabi.
Seandainya Seseorang
Belum Hafal Al-Fatihah
Bagi seseorang yang belum hafal Al Fatihah terutama bagi yang
baru masuk Islam, tentu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan
solusinya. Nasehatnya untuk orang yang belum hafal Al-Fatihah (tentunya dia tak
berhak jadi Imam):
Ucapkanlah:
SUBHANALLAHI, WALHAMDULILLAHI, WA LAA ILAHA ILLALLAHU, WALLAHU
AKBAR, WALAA HAULA WALAA QUWWATA ILLA BILLAHI
artinya: "Maha Suci Allah, Segala puji milik Allah, tiada
Ilah (yang haq) kecuali Allah, Allah Maha Besar, Tiada daya dan kekuatan
kecuali karena pertolongan Allah." (Hadits Shahih dikeluarkan oleh Al
Imam Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, Hakim, Thabrani dan Ibnu Hibban disahihkan oleh
Hakim dan disetujui oleh Ad- Dzahabi).
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam juga bersabda:
"Jika kamu hafal suatu ayat Al- Qur-an maka bacalah ayat tersebut, jika
tidak maka bacalah Tahmid, Takbir dan Tahlil." (Hadits dikeluarkan
oleh Abu Dawud dan At Tirmidzi dihasankan oleh At Tirmidzi, tetapi sanadnya
shahih, baca Shahih Abi Dawud hadits no. 807).
Hukum Bagi Imam:
Membaca amin disunnahkan bagi imam sholat.
Dari Abu hurairah, dia berkata: "Dulu Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam, jika selesai membaca surat Ummul Kitab (Al
Fatihah) mengeraskan suaranya dan membaca aamin." (Hadits dikeluarkan
oleh Imam Ibnu Hibban, Al Hakim, Al Baihaqi, Ad Daraquthni dan Ibnu Majah, oleh
Al Albani dalam Al Silsilah Al Shahihah dikatakan sebagai hadits yang
berkualitas shahih)
"Bila Nabi selesai membaca Al-Fatihah (dalam sholat),
beliau mengucapkan aamiin dengan suara keras dan panjang." (Hadits
shahih dikeluarkan oleh Al Imam Al- Bukhari dan Abu Dawud)
Hadits tersebut mensyari'atkan para imam untuk mengeraskan
bacaan amin, demikian yang menjadi pendapat Al Imam Al Bukhari, As Syafi'i,
Ahmad, Ishaq dan para imam fikih lainnya. Dalam shahihnya Al Bukhari membuat
suatu bab dengan judul 'baab jahr al imaan bi al ta miin' (artinya: bab tentang
imam mengeraskan suara ketika membaca amin). Di dalamnya dinukil perkataan
(atsar) bahwa Ibnu Al- Zubair membaca amin bersama para makmum sampai
seakan-akan ada gaung dalam masjidnya.
Juga perkataan Nafi' (maula Ibnu Umar): Dulu Ibnu Umar selalu
membaca aamiin dengan suara yang keras. Bahkan dia menganjurkan hal itu kepada
semua orang. Aku pernah mendengar sebuah kabar tentang anjuran dia akan hal
itu."
Hukum Bagi Makmum:
Dalam hal ini ada beberapa petunjuk dari Nabi (Hadits), atsar
para shahabat dan perkataan para ulama.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata: "Jika
imam membaca amiin maka hendaklah kalian juga membaca amiin."
Hal ini mengisyaratkan bahwa membaca amiin itu hukumnya wajib
bagi makmum. Pendapat ini dipertegas oleh Asy Syaukani. Namun hukum wajib itu
tidak mutlak harus dilakukan oleh makmum. Mereka baru diwajibkan membaca aamiin
ketika imam juga membacanya.
Adapun bagi imam dan orang yang sholat sendiri, maka hukumnya
hanya sunnah. (lihat Nailul Authaar, II/262).
"Bila imam selesai membaca ghoiril maghdhuubi 'alaihim
waladhdhooolliin, ucapkanlah amiin [karena malaikat juga mengucapkan amiin dan
imam pun mengucapkan amiin]. Dalam riwayat lain: "(apabila imam
mengucapkan amiin, hendaklah kalian mengucapkan amiin) barangsiapa ucapan
aminnya bersamaan dengan malaikat, (dalam riwayat lain disebutkan: "bila
seseorang diantara kamu mengucapkan amin dalam sholat bersamaan dengan malaikat
dilangit mengucapkannya), dosa-dosanya masa lalu diampuni." (Hadits
dikeluarkan oleh Al Imam Al Bukhari, Muslim, An Nasai dan Ad Darimi)
Syaikh Al Albani mengomentari masalah ini sebagai berikut:
"Aku berkata: Masalah ini harus diperhatikan dengan serius dan tidak boleh diremehkan dengan cara meninggalkannya. Termasuk kesempurnaan dalam mengerjakan masalah ini adalah dengan membarengi bacaan amin sang imam, dan tidak mendahuluinya. (Tamaamul Minnah hal. 178)
Membaca surat Al Qur an setelah membaca Al Fatihah dalan sholat
hukumnya sunnah karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam membolehkan
tidak membacanya. Membaca surat Al Quran ini dilakukan pada dua roka'at
pertama. Banyak hadits yang menceritakan perbuatan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
tentang itu.
Panjang Pendeknya Surat
Yang Dibaca
Pada sholat munfarid Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
membaca surat-surat yang panjang kecuali dalam kondisi sakit atau sibuk,
sedangkan kalau sebagai imam disesuaikan dengan kondisi makmumnya (misalnya ada
bayi yang menangis maka bacaan diperpendek).
Rasulullah berkata: "Aku melakukan sholat dan aku ingin
memperpanjang bacaannya akan tetapi, tiba-tiba aku mendengar suara tangis bayi
sehingga aku memperpendek sholatku karena aku tahu betapa gelisah ibunya karena
tangis bayi itu." (Muttafaq 'alaih)
Cara Membaca Surat
Dalam satu sholat terkadang beliau membagi satu surat dalam dua
roka'at, kadang pula surat yang sama dibaca pada roka'at pertama dan kedua.
(berdasar hadits yang dikeluarkan oleh Al Imam Ahmad dan Abu Ya'la, juga hadits
shahih yang dikeluarkan oleh Al Imam Abu Dawud dan Al Baihaqi atau riwayat dari
Ahmad, Ibnu Khuzaimah dan Al Hakim, disahkan oleh Al Hakim disetujui oleh Ad
Dzahabi)
Terkadang beliau membolehkan membaca dua surat atau lebih dalam
satu roka'at. (Berdasar hadits yang dikeluarkan oleh Al Imam Al Bukhari dan At
Tirmidzi, dinyatakan oleh At Tirmidzi sebagai hadits shahih)
Tata Cara Bacaan Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam biasanya membaca surat dengan
jumlah ayat yang berimbang antara roka'at pertama dengan roka'at kedua.
(berdasar hadits shahih dikeluarkan oleh Al Bukhari dan Muslim)
Dalam sholat yang bacaannya dijahrkan Nabi membaca dengan keras
dan jelas. Tetapi pada sholat dzuhur dan ashar juga pada sholat maghrib pada
roka'at ketiga ataupun dua roka'at terakhir sholat isya' Nabi membacanya dengan
lirih yang hanya bisa diketahui kalau Nabi sedang membaca dari gerakan
jenggotnya, tetapi terkadang beliau memperdengarkan bacaannya kepada mereka
tapi tidak sekeras seperti ketika di-jahr-kan. (Berdasarkan hadits yang
dikeluarkan oleh Al Imam Al Bukhari, Muslim dan Abu Dawud)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sering membaca suatu
surat dari awal sampai selesai selesai. Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam
berkata: "Berikanlah setiap surat haknya, yaitu dalam setiap (roka'at)
ruku' dan sujud." (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Ibnu Abi Syaibah,
Ahmad dan 'Abdul Ghani Al-Maqdisi)
Dalam riwayat lain disebutkan: "Untuk setiap satu surat
(dibaca) dalam satu roka'at." (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Ibnu
Nashr dan At Thohawi)
Dijelaskan oleh Syaikh Al Albani: "Seyogyanya kalian
membaca satu surat utuh dalam setiap satu roka'at sehingga roka'at tersebut
memperoleh haknya dengan sempurna." Perintah dalam hadits tersebut
bersifat sunnah bukan wajib.
Dalam membaca surat Al Quran Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam melakukannya dengan tartil, tidak lambat juga tidak cepat -sebagaimana
diperintahkan oleh Allah- dan beliau membaca satu per satu kalimat, sehingga
satu surat memerlukan waktu yang lebih panjang dibanding kalau dibaca biasa
(tanpa dilagukan). Rasulullah berkata bahwa orang yang membaca Al Quran kelak
akan diseru: "Bacalah, telitilah dan tartilkan sebagaimana kamu dulu
mentartilkan di dunia, karena kedudukanmu berada di akhir ayat yang engkau
baca." (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Abu Dawud dan At Tirmidzi,
dishahihkan oleh At Tirmidzi)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam membaca surat Al Quran
dengan suara yang bagus, maka beliau juga memerintahkan yang demikian itu:
"Perindahlah/hiasilah Al Quran dengan suara kalian [karena suara yang
bagus menambah keindahan Al Quran]." (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam
Al Bukhari , Abu Dawud, Ad Darimi, Al Hakim dan Tamam Ar Razi)
"Bukanlah dari golongan kami orang yang tidak melagukan Al
Quran." (Hadits dikeluarkan oleh Abu Dawud dan Al Hakim, dishahihkan
oleh Al Hakim dan disetujui oleh Adz Dzahabi)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam setelah selesai membaca
surat dari Al Quran kemudian berhenti sejenak,
Kemudian mengangkat kedua tangannya sambil bertakbir seperti
ketika takbiratul ihrom (setentang bahu atau daun telinga) kemudian rukuk
(merundukkan badan kedepan dipatahkan pada pinggang, dengan punggung dan kepala
lurus sejajar lantai). Berdasarkan beberapa hadits, salah satunya dari Abdullah
bin Umar, ia berkata: "Aku melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam apabila berdiri dalam sholat mengangkat kedua tangannya sampai setentang
kedua bahunya, hal itu dilakukan ketika bertakbir hendak rukuk dan ketika
mengangkat kepalanya (bangkit) dari ruku' …." (Hadits dikeluarkan oleh Al
Imam Al Bukhari, Muslim dan Malik)
Cara Ruku'
Beliau meletakkan telapak tangannya pada lututnya,
Demikian beliau juga memerintahkan kepada para shahabatnya.
"Bahwasanya nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam (ketika ruku') meletakkan
kedua tangannya pada kedua lututnya." (Hadits dikeluarkan oleh Al
Imam Al Bukhari dan Abu Dawud)
Menekankan tangannya pada lututnya.
"Jika kamu ruku' maka letakkan kedua tanganmu pada kedua
lututmu dan bentangkanlah (luruskan) punggungmu serta tekankan tangan untuk
ruku'." (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Ahmad dan Abu Dawud)
Merenggangkan jari-jemarinya
"Beliau merenggangkan jari-jarinya." (Hadits
dikeluarkan oleh Al Imam Al Hakim dan dia menshahihkannya, Adz Dzahabi dan At
Thayalisi menyetujuinya)
Merenggangkan kedua sikunya dari lambungnya.
"Beliau bila ruku', meluruskan dan membentangkan
punggungnya sehingga bila air dituangkan di atas punggung beliau, air tersebut
tidak akan bergerak." (Hadits di keluarkan oleh Al Imam Thabrani,
'Abdullah bin Ahmad dan ibnu Majah)
Antara kepala dan punggung lurus, kepala tidak mendongak tidak
pula menunduk tetapi tengah-tengah antara kedua keadaan tersebut
"Beliau tidak mendongakkan kepalanya dan tidak pula
menundukkannya."(Hadits ini diriwayatkan oleh Al Imam Abu Dawud dan
Bukhari)
"Sholat seseorang sempurna sebelum dia melakukan ruku' dan
sujud dengan meluruskan punggungnya." (Hadits dikeluarkan oleh Al
Imam Abu 'Awwanah, Abu Dawud dan Sahmi dishahihkan oleh Ad-Daraquthni)
Thumaninah/Bersikap Tenang
Beliau pernah melihat orang yang ruku' dengan tidak sempurna dan
sujud seperti burung mematuk, lalu berkata: "Kalau orang ini mati dalam
keadaan seperti itu, ia mati diluar agama Muhammad [sholatnya seperti gagak
mematuk makanan] sebagaimana orang ruku' tidak sempurna dan sujudnya cepat
seperti burung lapar yang memakan satu, dua biji kurma yang tidak
mengenyangkan." (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Abu Ya'la, Al Ajiri,
Al Baihaqi, Adh Dhiya' dan Ibnu Asakir dengan sanad shahih, dishahihkan oleh
Ibnu Khuzaimah)
Memperlama Ruku'
"Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menjadikan ruku',
berdiri setelah ruku' dan sujudnya juga duduk antara dua sujud hampir sama
lamanya." (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al Bukhari dan Muslim)
Yang Dibaca Ketika Ruku'
Do'a yang dibaca oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ada
beberapa macam, semuanya pernah dibaca oleh beliau jadi kadang membaca ini
kadang yang lain.
سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيْمِ
"Maha Suci Tuhanku yang Maha Agung”.(Dibaca tiga kali).
[HR. Penyusun kitab Sunan dan Imam Ahmad, lihat Shahih At-Tirmidzi 1/83.]
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ.
“Maha Suci Engkau, ya Allah! Tuhanku, dan dengan pujiMu. Ya
Allah! Ampunilah dosaku.” [HR. Al-Bukhari 1/99 dan Muslim 1/350.]
سُبُّوْحٌ قُدُّوْسٌ، رَبُّ الْمَلاَئِكَةِ
وَالرُّوْحِ.
“Engkau, Tuhan Yang Maha Suci (dari kekurangan dan hal yang
tidak layak bagi kebesaranMu), Maha Agung, Tuhan malaikat dan Jibril.” [HR.
Muslim 1/353 dan Abu Dawud 1/230]
اَللَّهُمَّ لَكَ
رَكَعْتُ، وَبِكَ آمَنْتُ، وَلَكَ أَسْلَمْتُ، خَشَعَ لَكَ سَمْعِيْ وَبَصَرِيْ
وَمُخِّيْ وَعَظْمِيْ وَعَصَبِيْ وَمَا اسْتَقَلَّ بِهِ قَدَمِيْ.
“Ya Allah, untukMu aku ruku’. KepadaMu aku beriman, kepadaMu aku
menyerah. Pendengaranku, penglihatanku, otakku, tulangku, sarafku dan apa yang
berdiri di atas dua tapak kakiku, telah merunduk dengan khusyuk kepadaMu.” [HR.
Muslim 1/534, begitu juga empat imam hadis, kecuali Ibnu Majah]
سُبْحَانَ ذِي الْجَبَرُوْتِ وَاْلمَلَكُوْتِ
وَالْكِبْرِيَاءِ وَالْعَظَمَةِ.
Maha Suci (Allah) Yang memiliki Keperkasaan, Kerajaan, Kebesaran
dan Keagungan. [HR. Abu Dawud 1/230, An-Nasai dan Ahmad. Dan sanadnya hasan.]
Yang Dilarang Ketika
Ruku'
Larangan disini adalah larangan dari Rasulullah
Shallallahu'alaihi wasallam bahwa sewaktu ruku' kita tidak boleh membaca Al
Quran. Berdasarkan hadits: "Bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
melarang membaca Al Quran dalam ruku' dan sujud." (Hadits dikeluarkan
oleh Al Imam Muslim dan Abu 'Awwanah)
"Ketahuilah bahwa aku dilarang membaca Al Quran sewaktu
ruku' dan sujud…" (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Muslim dan Abu
'Awwanah)
Cara i'tidal dari ruku'
Setelah ruku' dengan sempurna dan selesai membaca do'a, maka
kemudian bangkit dari ruku' (i'tidal). Waktu bangkit tersebut membaca
(SAMI'ALLAAHU LIMAN HAMIDAH) disertai dengan mengangkat kedua tangan
sebagaimana waktu takbiratul ihrom.
سَمِعَ اللهُ لِمَنْ
حَمِدَهُ.
“Semoga Allah mendengar pujian orang yang
memujiNya.” [HR. Al-Bukhari dalam Fathul Baari 2/282].
Hal
ini berdasarkan keterangan beberapa hadits, diantaranya: Dari Abdullah bin Umar, ia berkata: "Aku melihat
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam apabila berdiri dalam sholat
mengangkat kedua tangannya sampai setentag kedua pundaknya, hal itu dilakukan
ketika bertakbir mau rukuk dan ketika mengangkat kepalanya (bangkit) dari ruku'
sambil mengucapkan SAMI'ALLAAHU LIMAN HAMIDAH…"(Hadits dikeluarkan oleh Al
Bukhari, Muslim dan Malik).
Yang Dibaca Ketika
I'tidal dari Ruku'
Seperti ditunjuk hadits di atas ketika bangkit (mengangkat
kepala) dari ruku' itu membaca: (SAMI'ALLAHU LIMAN HAMIDAH)
Kemudian ketika sudah tegak dan selesai bacaan tersebut disahut
dengan bacaan:
رَبَّنَا وَلَكَ
الْحَمْدُ، حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ.
“Wahai Tuhan kami, bagiMu segala puji, aku
memujiMu dengan pujian yang banyak, yang baik dan penuh dengan berkah.” [HR.
Al-Bukhari dalam Fathul
Baari 2/284.]
Kadang ditambah dengan bacaan:
مِلْءَ السَّمَاوَاتِ
وَمِلْءَ اْلأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا، وَمِلْءَ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ.
أَهْلَ
الثَّنَاءِ وَالْمَجْدِ، أَحَقُّ مَا قَالَ الْعَبْدُ، وَكُلُّنَا لَكَ عَبْدٌ.
اَللَّهُمَّ لاَ مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ، وَلاَ مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ، وَلاَ
يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ.
(Aku memujiMu dengan) pujian sepenuh langit
dan sepenuh bumi, sepenuh apa yang di antara keduanya, sepenuh apa yang Engkau
kehendaki setelah itu.
Wahai Tuhan yang layak dipuji dan diagungkan,
Yang paling berhak dikatakan oleh seorang hamba dan kami seluruhnya adalah
hambaMu. Ya Allah tidak ada yang dapat menghalangi apa yang Engkau berikan dan
tidak ada pula yang dapat memberi apa yang Engkau halangi, tidak bermanfaat kekayaan
bagi orang yang memilikinya (kecuali iman dan amal shalihnya), hanya dariMu
kekayaan itu. [HR. Muslim 1/346.]
Cara I'tidal
Adapun dalam tata cara i'tidal ulama berbeda pendapat menjadi
dua pendapat, pertama mengatakan sedekap dan yang kedua mengatakan tidak
bersedekap tapi melepaskannya. kedua duanya boleh dan sama-sama ada dalilnya.
Bagi yang hendak mengerjakan pendapat yang pertama tidak apa-apa dan bagi siapa
yang mengerjakan sesuai dengan pendapat kedua tidak mengapa. Wallaahu a'lamu
bishshawab.
Thumaninah dan Memperlama
Dalam I'tidal
"Kemudian angkatlah kepalamu sampai engkau berdiri dengan
tegak [sehingga tiap- tiap ruas tulang belakangmu kembali pata
tempatnya]." (dalam riwayat lain disebutkan: "Jika kamu berdiri
i'tidal, luruskanlah punggungmu dan tegakkanlah kepalamu sampai ruas tulang
punggungmu mapan ke tempatnya)." (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al
Bukhari dan Muslim, dan riwayat lain oleh Ad Darimi, Al Hakim, As Syafi'i dan
Ahmad)
Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam berdiri terkadang
dikomentari oleh shahabat: "Dia telah lupa" [karena saking lamanya
berdiri]. (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al Bukhari, Muslim dan Ahmad)
Sujud dilakukan setelah i'tidal thumaninah dan jawab tasmi'
(Rabbana Lakal Hamd...dst).
Cara Sujud
Dengan tanpa atau kadang-kadang dengan mengangkat kedua tangan
(setentang pundak atau daun telinga) seraya bertakbir, badan turun condong
kedepan menuju ke tempat sujud, dengan meletakkan kedua lutut terlebih dahulu
baru kemudian meletakkan kedua tangan pada tempat kepala diletakkan dan
kemudian meletakkan kepala kepala dengan menekankan hidung dan kening ke lantai
(tangan sejajar dengan pundak atau daun telinga)
Dari Wail bin Hujr, berkata, "Aku melihat Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam ketika hendak sujud meletakkan kedua lututnya
sebelum kedua tangannya dan apabila bangkit mengangkat dua tangan sebelum kedua
lututnya." (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Abu Dawud, Tirmidzi An-Nasa'i,
Ibnu Majah dan Ad- Daarimy)
"Terkadang beliau mengangkat kedua tangannya ketika hendak
sujud." (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam An Nasa'i dan
Daraquthni)
"Terkadang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam meletakkan
tangannya [dan membentangkan] serta merapatkan jari-jarinya dan menghadapkannya
ke arah kiblat." (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Abu Dawud, Al
Hakim, Al-Baihaqi)
"Beliau meletakkan tangannya sejajar dengan
bahunya" (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Tirmidzi)
"Terkadang beliau meletakkan tangannya sejajar dengan daun
telinganya." (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam An Nasa'i)
Cara Sujud
Bersujud pada 7 anggota badan, yakni jidat/kening/dahi dan
hidung (1), dua telapak tangan (3), dua lutut (5) dan dua ujung kaki (7). Hal
ini berdasar hadits:
Dari Ibnu 'Abbas berkata:
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkata: "Aku diperintah untuk bersujud
(dalam riwayat lain; Kami diperintah untuk bersujud) dengan tujuh (7) anggota
badan; yakni kening sekaligus hidung, dua tangan (dalam lafadhz lain; dua
telapak tangan), dua lutut, jari-jari kedua kaki dan kami tidak boleh menyibak
lengan baju dan rambut kepala." (Hadits dikeluarkan oleh Al-Jama'ah)
Dilakukan dengan menekan
"Apabila kamu sujud, sujudlah dengan
menekan." (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Ahmad)
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menekankan kedua lututnya
dan bagian depan telapak kaki ke tanah." (Hadits dikeluarkan oleh Al
Imam Al Baihaqi)
Kedua lengan/siku tidak ditempelkan pada lantai, tapi diangkat
dan dijauhkan dari sisi lambung.
Dari Abu Humaid As-Sa'diy, bahwasanya Nabi shalallau 'alaihi wasallam
bila sujud maka menekankan hidung dan dahinya di tanah serta menjauhkan kedua
tangannya dari dua sisi perutnya, tangannya ditaruh sebanding dua bahu
beliau." (Diriwayatkan oleh Al Imam At Tirmidzi)
Dari Anas bin Malik, dari Nabi shalallau 'alaihi wasallam
bersabda:
"Luruskanlah kalian dalam sujud dan jangan kamu menghamparkan kedua lengannya seperti anjing menghamparkan kakinya." (Diriwayatkan oleh Al Jama'ah kecuali Al Imam An Nasai, lafadhz ini bagi Al Imam Al Bukhari)
"Luruskanlah kalian dalam sujud dan jangan kamu menghamparkan kedua lengannya seperti anjing menghamparkan kakinya." (Diriwayatkan oleh Al Jama'ah kecuali Al Imam An Nasai, lafadhz ini bagi Al Imam Al Bukhari)
"Beliau mengangkat kedua lengannya dari lantai dan
menjauhkannya dari lambungnya sehingga warna putih ketiaknya terlihat dari
belakang" (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al Bukhari dan Muslim)
Menjauhkan perut/lambung dari kedua paha
Dari Abi Humaid tentang sifat sholat Rasulillah shallallahu
'alaihi wa sallam berkata: "Apabila dia sujud, beliau merenggangkan antara
dua pahanya (dengan) tidak menopang perutnya." (Hadits dikeluarkan
oleh Al Imam Abu Dawud)
Merapatkan jari-jemari
Dari Wail, bahwasanya Nabi shalallau 'alaihi wasallam jika sujud
maka merapatkan jari-jemarinya. (Diriwayatkan oleh Al Imam Al Hakim)
Menegakkan telapak kaki dan saling merapatkan/menempelkan antara
dua tumit
Berkata Aisyah isteri Nabi shalallau 'alaihi wasallam: "Aku
kehilangan Rasulullah shalallau 'alaihi wasallam padahal beliau tadi tidur
bersamaku, kemudian aku dapati beliau tengah sujud dengan merapatkan kedua
tumitnya (dan) menghadapkan ujung-ujung jarinya ke kiblat, aku
dengar…" (Diriwayatkan oleh Al Imam Al Hakim dan Ibnu Huzaimah)
Thumaninah dan sujud dengan lama
Sebagaimana rukun sholat yang lain mesti dikerjakan dengan
thumaninah. Juga Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kalau bersujud
biasanya lama.
"Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menjadikan ruku',
berdiri setelah ruku' dan sujudnya juga duduk antara dua sujud hampir sama
lamanya." (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al Bukhari dan Muslim)
Sujud Langsung Pada Tanah
atau Boleh Di Atas Alas
"Para shahabat sholat berjama'ah bersama Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam pada cuaca yang panas. Bila ada yang tidak
sanggup menekankan dahinya di atas tanah maka membentangkan kainnya kemudian
sujud di atasnya" (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Muslim)
Bacaan Sujud
Rasulullah membaca
سُبْحَانَ رَبِّيَ اْلأَعْلَى
“Maha Suci Tuhanku, Yang Maha Tinggi (dari segala kekurangan dan
hal yang tidak layak). Dibaca tiga kali” [HR. Para penyusun kitab Sunan dan
Imam Ahmad. Lihat Shahih
At-Tirmidzi 1/83.]
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ
رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ.
“Maha Suci Engkau. Ya Allah, Tuhan kami, aku
memujiMu. Ya Allah, ampunilah dosaku.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]
سُبُّوْحٌ قُدُّوْسٌ
رَبُّ الْمَلاَئِكَةِ وَالرُّوْحِ.
“Engkau Tuhan Yang Maha Suci, Maha Agung,
Tuhan para malaikat dan Jibril.” [HR. Muslim 1/533]
اَللَّهُمَّ لَكَ
سَجَدْتُ وَبِكَ آمَنْتُ، وَلَكَ أَسْلَمْتُ، سَجَدَ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ خَلَقَهُ
وَصَوَّرَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ، تَبَارَكَ اللهُ أَحْسَنُ
الْخَالِقِيْنَ.
Ya Allh, untukMulah aku bersujud, kepadaMulah
aku beriman, kepadaMu aku menyerahkan diri, wajahku bersujud kepada Tuhan yang
menciptakannya, yang membentuk rupanya, yang membelah (memberikan)
pendengarannya, penglihatannya, Maha Suci Allah sebaik baik Pencipta. [HR.
Muslim 1/534, begitu juga imam hadits yang lain]
سُبْحَانَ ذِي الْجَبَرُوْتِ
وَاْلمَلَكُوْتِ وَالْكِبْرِيَاءِ وَالْعَظَمَةِ.
Maha suci Tuhan yang memiliki Keperkasaan,
Kerajaan, Kebesaran dan Keagungan. [HR. Abu Dawud 1/230, An-Nasai dan Ahmad.
Dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud 1/166.]
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ
لِيْ ذَنْبِيْ كُلَّهُ، دِقَّهُ وَجِلَّهُ، وَأَوَّلَهُ وَآخِرَهُ
وَعَلاَنِيَّتَهُ وَسِرَّهُ.
“Ya Allah, ampunilah seluruh dosaku yang kecil
dan besar, yang telah lewat dan yang akan datang, yang kulakukan dengan
terang-terangan dan yang tersembunyi.” [HR. Muslim 1/350.]
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ
أَعُوْذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ، وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوْبَتِكَ،
وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْكَ، لاَ أُحْصِيْ ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ
عَلَى نَفْسِكَ.
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung
kepadaMu dengan keridhaanMu (agar selamat) dari kebencianMu, dan dengan
keselamatanMu (agar terhindar) dari siksaanMu. Aku tidak membatasi pujian
kepadaMu. Engkau (dengan kebesaran dan keagunganMu) adalah sebagaimana pujianMu
kepada diriMu.” [HR. Muslim 1/532.]
Bacaan Yang Dilarang
Selama Sujud
"Ketahuilah bahwa aku dilarang membaca Al Quran sewaktu
ruku' dan sujud…" (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Muslim dan Abu
'Awwanah).
BANGUN DARI SUJUD PERTAMA
Setelah sujud pertama
-dimana dalam setiap roka'at ada dua sujud- maka kemudian bangun untuk
melakukan duduk diantara dua sujud. Dalam bangun dari sujud ini disertai dengan
takbir dan kadang mengangkat tangan (Berdasar hadits dari Ahmad dan Al-Hakim).
"Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bangkit dari sujudnya
seraya bertakbir" (Hadits dikeluarkan oleh Al Bukhari dan Muslim)
Duduk
ini dilakukan antara sujud yang pertama dan sujud yang kedua, pada roka'at
pertama sampai terakhir. Ada dua macam tipe duduk antara dua sujud, duduk
iftirasy (duduk dengan meletakkan pantat pada telapak kaki kiri dan kaki kanan
ditegakkan) dan duduk iq'a (duduk dengan menegakkan kedua telapak kaki dan
duduk diatas tumit).
Hal ini berdasar hadits:Dari Aisyah
berkata: "Dan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menghamparkan kaki beliau
yang kiri dan menegakkan kaki yang kanan, baliau melarang dari duduknya
syaithan." (Diriwayatkan oleh Ahmad dan Muslim)
Syaikh
Al Albani berkata, duduknya syaithan adalah dua telapak kaki ditegakkan
kemudian duduk dilantai antara dua kaki tersebut dengan dua tangan menekan
dilantai.
Dari
Rifa'ah bin Rafi' -dalam haditsnya- dan berkata Rasul shallallahu 'alaihi wa
sallam : "Apabila engkau sujud maka tekankanlah dalam sujudmu lalu kalau
bangun duduklah di atas pahamu yang kiri." (Hadits dikeluarkan oleh
Ahmad dan Abu Dawud dengan lafadhz Abu Dawud)
Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam terkadang duduk iq'a, yakni duduk dengan
menegakkan telapak dan tumit kedua kakinya. (Hadits dikeluarkan oleh
Muslim)
Waktu
duduk antara dua sujud ini telapak kaki kanan ditegakkan dan jarinya diarahkan
ke kiblat:
Beliau
menegakkan kaki kanannya (Al Bukhari)
Menghadapkan
jari-jemarinya ke kiblat (An Nasai)
Bacaannya
رَبِّ اغْفِرْ لِيْ رَبِّ اغْفِرْ
لِيْ.
“Wahai Tuhanku, ampunilah dosaku, wahai Tuhanku, ampunilah
dosaku.” [HR. Abu Dawud 1/231, lihat Shahih
Ibnu Majah 1/148]
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ
وَارْحَمْنِيْ وَاهْدِنِيْ وَاجْبُرْنِيْ وَعَافِنِيْ وَارْزُقْنِيْ وَارْفَعْنِي.
“Ya Allah, ampunilah dosaku, berilah rahmat kepadaku,
tunjukkanlah aku (ke jalan yang benar), cukupkanlah aku, selamatkan aku (tubuh
sehat dan keluarga terhindar dari musibah), berilah aku rezeki (yang halal) dan
angkatlah derajatku.” [HR. Ashhabus Sunan,
kecuali An-Nasai. Lihat Shahih Tirmidzi 1/90
dan Shahih Ibnu Majah 1/148.]
Dan
tidak ada dalil ucapan WAFU'ANI
Pada masalah ini ada dua tempat/kondisi, yaitu :
1. Bangkit menuju roka'at berikut dari posisi sujud kedua pada
akhir roka'at pertama dan ketiga.
2. Bangkit dari posisi duduk tasyahhud awal pada roka'at kedua.
Pertama
Bangkit/bangun dari sujud untuk berdiri (dari akhir roka'at
pertama dan ketiga) didahului dengan duduk istirahat atau tanpa duduk
istirahat, bangkit berdiri seraya bertakbir tanpa mengangkat kedua tangan.
Ketika bangkit bisa dengan tangan bertumpu pada lantai atau bisa juga bertumpu
pada pahanya.
Tangan bertumpu pada satu
pahanya
Dari Wail bin Hujr, "Maka tatkala Nabi shallallahu 'alaihi
wa sallam bersujud dia meletakkan kedua lututnya ke lantai sebelum meletakkan
kedua tangannya …..dan apabila bangkit dia bangkit atas kedua lututnya dengan
bertumpu pada satu paha." (Hadits dikeluarkan oleh Abu Dawud)
Tangan bertumpu pada
lantai (tempat sujud)
Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bertumpu pada lantai
ketika bangkit ke roka'at kedua. (Hadits dikeluarkan oleh AlBukhari)
Disela duduk istirahat
Dari Malik bin Huwairits bahwasanya di malihat Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam sholat, maka bila pada roka'at yang ganjil tidaklah beliau
bangkit sampai duduk terlebih dulu dengan lurus." (Hadits dikeluarkan
oleh Al Bukhari, Abu Dawud dan At- Tirmidzi)
Kedua
Bangkit dari duduk tasyahhud awwal (dari roka'at kedua) dengan
mengangkat kedua tangan seraya bertakbir seperti pada takbiratul ihram.
Mengangkat tangan ketika
takbir
Nabi shallallahu 'alaihi
wa sallam ketika bangkit dari duduknya mengucapkan takbir, kemudian
berdiri (Hadits dikeluarkan oleh Abu Ya'la)
asyahhud
awwal dan duduknya merupakan kewajiban dalam sholat
Tempat dilakukannya
Duduk tasyahhud awwal terdapat hanya
pada sholat yang jumlah roka'atnya sama dengan atau lebih dari dua (2), pada
sholat wajib dilakukan pada roka'at yang ke-2. Sedang duduk tasyahhud ahir
dilakukan pada roka'at yang terakhir. Masing-masing dilakukan setelah sujud
yang kedua.
Cara duduk tasyahhud awwal dan
tasyahhud akhir
Waktu
tasyahhud awwal duduknya iftirasy (duduk diatas telapak kaki kiri)
sedang
pada tasyahhud akhir duduknya tawaruk (duduk dengan kaki kiri dihamparkan kesamping
kanan dan duduk diatas lantai)
Pada
masing-masing posisi kaki kanan ditegakkan.
Dari
Abi Humaid As-Sa'idiy tentang sifat sholat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,
dia berkata, "Maka apabila Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam duduk
dalam dua roka'at (-tasyahhud awwal) beliau duduk diatas kaki kirinya dan bila
duduk dalam roka'at yang akhir (-tasyahhud akhir) beliau majukan kaki kirinya
dan duduk di tempat kedudukannya (lantai dll)." (Hadits dikeluarkan oleh
Al Imam Abu Dawud)
Letak tangan ketika duduk
Untuk
kedua cara duduk tersebut tangan kanan ditaruh di paha kanan sambil berisyarat
dan/atau menggerak-gerakkan jari telunjuk dan penglihatan ditujukan kepadanya,
sedang tangan kirinya ditaruh/terhampar di paha kiri
Dari
Ibnu 'Umar berkata Rasulullahi shallallahu 'alaihi wa sallam bila duduk di
dalam shalat meletakkan dua tangannya pada dua lututnya dan mengangkat telunjuk
yang kanan lalu berdoa dengannya sedang tangannya yang kiri diatas lututnya
yang kiri, beliau hamparkan padanya." (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam
Muslim dan Nasa-i).
Berisyarat
dengan telunjuk, bisa digerakkan bisa tidak
Selama
melakukan duduk tasyahhud awwal maupun tasyahhud akhir, berisyarat dengan
telunjuk kanan, disunnahkan menggerak-gerakkannya. Kadang pada suatu sholat
digerakkan pada sholat lain boleh juga tidak digerak-gerakkan.
"Kemudian
beliau duduk, maka beliau hamparkan kakinya yang kiri dan menaruh tangannya
yang kiri atas pahanya dan lututnya yang kiri dan ujung sikunya diatas paha
kanannya, kemudian beliau menggenggam jari-jarinya dan membuat satu lingkaran
kemudian mengangkat jari beliau maka aku lihat beliau menggerak- gerakkannya
berdo'a dengannya." (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Ahmad, Abu Dawud
dan An-Nasa-i).
"Dari
Abdullah Bin Zubair bahwasanya ia menyebutkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam berisyarat dengan jarinya ketika berdoa dan tidak
menggerakannya." (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Abu Dawud).
Mengangkat jari telunjuk dari awal
tasyahud hingga akhir
Madzhab
kebanyakan orang-orang Syafiiyyah menyatakan bahwa disunnahkan berisyarat
dengan jari telunjuk kemudian diangkat jari telunjuk tersebut ketika mencapai
kata hamzah dari kalimat Laa ilaaha illallah. Hal ini disebutkan oleh Imam An
Nawawy dalam Al-Majmu’ 3/434 dan dalam Minhaj Ath-Tholibin hal.12.
Dan
hal yang sama disebutkan oleh Imam Ash-Shon’any dalam Subulus Salam 1/362 dan beliau
tambahkan bahwa hal tersebut berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al
Baihaqy.
Namun tidak ada keraguan bahwa yang disyariatkan dalam hal
ini adalah mengangkat jari telunjuk dari awal tasyahud hingga akhir. Hal ini
berdasarkan hadits-hadits shohih yang sangat banyak jumlahnya yang telah
tersebut sebagiannya pada jawaban pertanyaan no.1 yang menjelaskan bahwa Nabi
Shallallahu'alaihi wasallam ketika duduk tasyahud beliau menggenggam jari-jari
beliau lalu membuat lingkaran kemudian mengangkat telunjuknya, maka dzahir
hadits ini menunjukkan beliau mengangkat jari telunjuk dari awal tasyahud
sampai akhir.
Adapun bantahan terahadap madzhab orang-orang Syafiiyyah
maka jawabannya adalah sebagai berikut :
1. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al Baihaqy itu adalah
hadits Khafaf bin Ima’ dan di dalam sanadnya ada seorang
lelaki yang tidak dikenal maka ini secara otomatis menyebabkan hadits ini
lemah.
2. Hal yang telah disebutkan bahwa dzohir hadits-hadits
yang shohih menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu'alaihi wasallam mengangkat jari
telunjuk dari awal hingga ahir menyelisihi hadits yang diriwayatkan oleh
Al-Baihaqy tersebut sehingga ini semakin mempertegas lemahnya riwayat
Al-Baihaqy tersebut.
3. Orang-orang Syafiiyyah sendiri tidak sepakat tentang sunnahnya mengangkat jari telunjuk ketika mencapai huruf hamzah dari kalimat Laa Ilaaha Illallah, karena Imam An-Nawawy dalam Al-Majmu’ 3/434 menukil dari Ar-Rafi’y (salah seorang Imam besar dikalangan Syafiiyyah) yang menyatakan bahwa tempat mengangkat jari telunjuk adalah pada seluruh tasyahud dari awal hingga akhir.
3. Orang-orang Syafiiyyah sendiri tidak sepakat tentang sunnahnya mengangkat jari telunjuk ketika mencapai huruf hamzah dari kalimat Laa Ilaaha Illallah, karena Imam An-Nawawy dalam Al-Majmu’ 3/434 menukil dari Ar-Rafi’y (salah seorang Imam besar dikalangan Syafiiyyah) yang menyatakan bahwa tempat mengangkat jari telunjuk adalah pada seluruh tasyahud dari awal hingga akhir.
4. Hal yang disebutkan oleh orang Syafiiyyah ini tidak
disebutkan di dalam madzhab para ulama yang lain. Ini menunjukkan bahwa yang
dipakai oleh para ulama adalah mengangkat jari telunjuk pada seluruh tasyahud
dari awal hingga akhir.
Kesimpulan :
JJadi yang benar di dalam masalah ini adalah bahwa jari telunjuk disyariatkan untuk diangkat dari awal tasyahud hingga akhir dan tidak mengangkatnya nanti ketika mencapai huruf hamzah dari kalimat Laa Ilaaha Illallah.
JJadi yang benar di dalam masalah ini adalah bahwa jari telunjuk disyariatkan untuk diangkat dari awal tasyahud hingga akhir dan tidak mengangkatnya nanti ketika mencapai huruf hamzah dari kalimat Laa Ilaaha Illallah.
Membaca do'a At-Tahiyyaat dan
As-Sholawaat
Do'a tahiyyat ini ada beberapa riwayat,
untuk hendaklah dipilih yang kuat dan lafadhznya belum ditambah-tambah. Salah
satu contoh riwayat yang baik adalah sebagai berikut:
Berkata
Abdullah : beliau shallallahu 'alaihi wa sallam berkata : sesungguhnya Allah
itu As-salam maka apabila shalat hendaklah kalian itu mengucapkan:
التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ،
وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ، السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ
وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ
الصَّالِحِيْنَ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ
مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
“Segala penghormatan hanya milik Allah, juga segala
pengagungan dan kebaikan. Semoga kesejahteraan terlimpahkan kepadamu, wahai
Nabi, begitu juga rahmat dan berkahNya. Kesejahteraan semoga terlimpahkan
kepada kita dan hamba-hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan
yang hak disembah selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan
utusanNya.” [HR. Al-Bukhari dalam Fathul
Baari 1/13 dan Imam Muslim 1/301]
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ
وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ
إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدُ مَجِيْدٌ، اَللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ
وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ
إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدُ مَجِيْدٌ.
“Ya Allah, berilah rahmat kepada Muhammad dan keluarganya,
sebagaimana Engkau telah memberikan rahmat kepada Ibrahim dan keluarganya.
Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Agung. Berilah berkah kepada Muhammad
dan keluarganya (termasuk anak dan istri atau umatnya), sebagai-mana Engkau telah
memberi berkah kepada Ibrahim dan keluarganya. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji
dan Maha Agung.” [HR. Al-Bukhari dalam Fathul
Baari 6/408.]
Berdo'a berlindung dari empat (4) hal.
Hal
ini dilakukan pada duduk tasyahhud akhir saja.
Apabila kamu telah selesai bertasyahhud
akhir maka…(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Ahmad, Muslim, Abu Dawud dan Ibnu
Majah)
Agar
tidak menyalahi riwayat -hadits Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam- ini maka
dalam tasyahhud awwal bacaannya berhenti sampai membaca sholawat pada Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam, sedang ta'awudz (berlindung dari 4 hal) ini
dibaca hanya ketika tasyahhud akhir
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ
مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَمِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ، وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا
وَالْمَمَاتِ، وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ.
“Ya Allah, Sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari siksaan
kubur, siksa neraka Jahanam, fitnah kehidupan dan setelah mati, serta dari
kejahatan fitnah Almasih Dajjal.” [HR. Al-Bukhari 2/102 dan Muslim 1/412.
Lafazh hadits ini dalam riwayat Muslim]
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ
مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ،
وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ. اَللَّهُمَّ إِنِّيْ
أَعُوْذُ بِكَ مِنْ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ.
“Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari siksa
kubur. Aku berlindung kepadaMu dari fitnah Almasih Dajjal. Aku berlindung
kepadaMu dari fitnah kehidupan dan sesudah mati. Ya Allah, Sesungguhnya aku
berlindung kepadaMu dari perbuatan dosa dan kerugian.” [HR. Al-Bukhari 1/202
dan Muslim 1/412]
Selanjutnya
adalah berdo'a dengan do'a/permohonan lainnya.
kemudian
(supaya) dia memilih do'a yang dia kagumi/senangi… (Hadits dikeluarkan oleh Al
Imam Ahmad dan Al Bukhari)
Salam sebagai tanda berakhirnya gerakan sholat, dilakukan dalam
posisi duduk tasyahhud akhir setelah membaca do'a minta perlindungan dari 4
fitnah atau tambahan do'a lainnya.
"Kunci sholat adalah bersuci, pembukanya takbir dan
penutupnya (yaitu sholat) adalah mengucapkan salam." (Hadits
dikeluarkan dan disahkan oleh Al Imam Al- Hakim dan Adz-Dzahabi)
0 Response to "TATA CARA SHOLAT NABI MUHAMMAD"
Posting Komentar